Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Overthinking-ku di Usia 20 Tahun

Jumat, 31 Januari 2025 06:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Mengapa Anda Sedih
Iklan

Sebuah cerita pendek tentang remaja yang merasa tertinggal dan lalu mencari arah.

^^^

Di usiaku yang telah menginjak kepala dua, di saat teman-teman seumuranku sudah melangkah menuju cita-cita dan impian mereka. Sementara itu, diriku masih terjebak dalam ketidakpastian—berjalan tanpa arah, seolah berdiri di persimpangan tanpa petunjuk yang jelas.

Aku menatap layar ponsel, jemariku terus menggulir feed Instagram, melihat foto-foto teman-temanku.

Dika, yang dulu duduk sebangku denganku di SMA, kini ber-pose di depan sebuah universitas ternama di Eropa. "Finally, studying abroad!" tulisnya di caption.

Valdo, sahabat kecil ku dulu, baru saja mengunggah foto dirinya memegang sertifikat sambil berfoto bersama dengan kepala prodi. "Alhamdulillah, berhasil meraih Juara 1 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah! Terima kasih atas dukungannya."

Lalu ada Rahman, kini tampil sebagai narasumber dalam sebuah seminar di universitas negeri di Indonesia. "Bangga bisa berbagi pengalaman sebagai entrepreneur muda yang memulai bisnis dari nol!"

Aku membuang napas. Melempar ponsel ke kasur. Hati ini terasa kosong.

Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah, aku punya begitu banyak cita-cita yang ingin kucapai. Aku ingat saat guru menugaskan kami menuliskan impian di buku agenda sekolah. Dengan penuh keyakinan, aku menuliskan:

"Cita-citaku adalah menjadi polisi."

Jawaban yang kutulis tanpa ragu, karena bagiku saat itu, menjadi polisi adalah profesi yang keren, gagah, dihormati, dan yang paling penting—mampu membanggakan orang tua.

Tapi seiring waktu, cita-cita itu perlahan menghilang. Aku mulai menyadari bahwa dunia tidak sesederhana anganku saat kecil. Aku tak cukup kuat, tak cukup pintar, dan mungkin tak cukup berani untuk menjalani profesi itu. Lambat laun, daftar impianku berubah, menyusut, hingga akhirnya aku hanya berjalan mengikuti arus tanpa tujuan yang jelas.

Di kamar yang remang, aku berbaring di tempat tidur, membiarkan pikiranku tenggelam dalam lautan kecemasan. Sudah hampir tengah malam, tapi kepalaku masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.

"Kapan ya aku bisa seperti mereka ?”, kapan aku bisa membahagiakan orang tua ?” dan “ bagaimana jika ku nggak pernah jadi apa-apa ?." 

Bisikan itu berulang-ulang muncul di benakku. Sudah bertahun-tahun aku mencoba, berjuang, berharap, tetapi bagaikan seseorang yang menaiki kereta tetapi tak punya tujuan yang jelas. Semasa kecil ku dulu aku bukan siswa yang berprestasi, aku bukan mahasiswa dengan IPK sempurna, bukan mahasiswa yang memiliki banyak pengalaman organisasi ataupun kepanitiaan, dan aku bukan seseorang yang bisa dibanggakan.

"Kalau aku hilang besok, apa dunia akan berubah?" gumamku pelan.

Ku melihat di dinding kamarku terpampang sebuah foto lama. Aku mengambilnya, menatap wajah anak kecil di dalamnya—aku. Terlihat begitu ceria bersama kakak, papa, dan ibu. Kami duduk di tepi pantai, sembari bermain pasir, dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Aku bisa merasakan kebahagiaan mereka saat itu, seolah waktu berhenti sejenak dan aku berada dalam momen sempurna yang tak akan pernah tergantikan.

Dulu, aku adalah bayi yang membuat orang tuaku tersenyum. Aku adalah anak yang, meski sering nakal, tetapi tetap berusaha tidak mengecewakan mereka.

Mungkin aku telah menjadi adik yang menyebalkan bagi kakakku, sering merepotkannya dengan hal-hal sepele. Tapi bukankah aku juga pernah menjadi adik yang selalu mendengarkan ceritanya, menjadi teman berbagi saat ia butuh tempat bersandar? Bukankah aku pernah menjadi seseorang yang ia cari saat dunia terasa melelahkan?

Dan bukankah dulu aku pernah menjadi sahabat terbaik bagi seseorang? Bukankah ada masanya aku menjadi satu-satunya orang yang mendengar keluh kesah temanku saat dunia terasa berat?

"Aku pernah jadi sesuatu," pikirku.

Mungkin sekarang aku belum jadi seseorang yang “besar”. Belum mencapai semua impian yang kurancang dengan hati-hati. Tapi bukankah hidup bukan hanya tentang pencapaian besar?

Aku menarik napas panjang. Hati ini terasa sedikit lebih tenang.

Di tengah malam yang sunyi ini, aku belajar sesuatu. Aku menyadari bahwa menjadi manusia yang terus berusaha adalah sesuatu yang berarti. Bahwa mencoba memperbaiki diri, sekecil apapun, adalah pencapaian yang tak bisa diukur dengan angka atau penghargaan.

Dan yang paling penting, aku masih punya waktu. Waktu untuk berjalan, waktu untuk belajar, waktu untuk menjadi seseorang yang lebih baik.

Aku tersenyum kecil.

Yaa..., mungkin aku belum menjadi apa-apa yang besar di mata dunia. Tapi dalam diriku, aku tahu—aku selalu menjadi sesuatu.

Dan itu sudah cukup.

Sungguh cukup.

***

Cerita ini terinspirasi dari buku "Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa" karya Alvi Syahrin.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bernardus Dimas

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Cermin yang Mengertiku

Senin, 3 Februari 2025 17:17 WIB
img-content

Overthinking-ku di Usia 20 Tahun

Jumat, 31 Januari 2025 06:56 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua